Top 5 This Week

Related Posts

Belajar Empati dari “Pangku”: Saat Penghakiman Tidak Mengubah Dunia, Tapi Pemahaman Bisa

Kita hidup di zaman di mana orang begitu cepat menilai — sering kali lebih cepat daripada berpikir. Di media sosial, di lingkungan kerja, bahkan di ruang pendidikan, kita kerap memutuskan siapa yang benar atau salah hanya dengan sekali pandang. Padahal, dalam kehidupan nyata, tidak semua pilihan lahir dari kebebasan; sebagian justru muncul dari keterpaksaan. Di sinilah Pangku, film debut Reza Rahadian sebagai sutradara, menjadi cermin yang tajam: ia mengajak kita berhenti menghakimi dan mulai memahami.

Melihat yang Tak Terlihat

Film Pangku berkisah tentang Sartika, seorang perempuan muda yang hidup di tengah kerasnya realitas ekonomi. Ia bekerja di warung kopi pinggir jalan — tempat yang bagi sebagian orang dianggap rendah, tetapi bagi Sartika adalah satu-satunya ruang untuk bertahan hidup. Melalui ceritanya, Reza Rahadian menyoroti sisi masyarakat yang jarang dibicarakan: perempuan yang disalahkan atas kondisi yang tidak mereka pilih, dan masyarakat yang lebih sibuk menghakimi daripada mencari akar masalahnya.

Sebagai penonton, kita dipaksa menatap kenyataan yang selama ini dihindari. Pangku menelanjangi kenyataan bahwa kemiskinan sering kali membuat manusia tampak “salah”, padahal mereka hanya berjuang dengan cara yang tersedia. Reza tidak meminta belas kasihan, tapi mengajak penonton mengembangkan empati — kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain tanpa terburu-buru menilai.

Menggugat Ilusi Moral

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mengukur moralitas berdasarkan perilaku yang tampak. Kita merasa “lebih baik” hanya karena tidak berada di posisi Sartika. Padahal, moral sejati bukan soal menjaga citra, melainkan memahami mengapa seseorang bisa sampai pada titik tertentu. Pangku dengan halus menggugat ilusi moral ini. Ia mengingatkan bahwa manusia bukan produk dari satu keputusan, melainkan hasil dari banyak keterbatasan yang saling bertumpuk.

Empati tidak berarti membenarkan tindakan seseorang, tetapi berusaha memahami konteksnya. Ini adalah bentuk kedewasaan yang jarang dibicarakan dalam pendidikan kita: bahwa memahami lebih sulit daripada menilai, tapi jauh lebih bermakna. Ketika kita berhenti menghakimi, kita membuka ruang dialog, dan di sanalah perubahan sosial bisa dimulai.

Empati Sebagai Keterampilan Hidup

Empati bukan sekadar emosi; ia adalah keterampilan yang bisa diasah. Sama seperti mendengar, membaca, atau mengajar, empati menuntut latihan. Dalam konteks pengembangan diri, empati membuat kita lebih sadar bahwa setiap orang memikul beban berbeda — dan tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk memilih jalan yang “benar”.

Kita bisa mulai dari hal sederhana: mendengarkan tanpa memotong, menunda komentar saat seseorang bercerita, atau mencoba menempatkan diri di posisi orang lain sebelum menyimpulkan. Dalam pendidikan, empati melahirkan pengajar yang lebih manusiawi; dalam pekerjaan, ia menciptakan pemimpin yang bijak; dalam kehidupan pribadi, ia membentuk hati yang tenang.

Mengubah Penghakiman Menjadi Pemahaman

Film Pangku menegaskan satu pesan penting: penghakiman tidak mengubah dunia, tetapi pemahaman bisa. Sartika tidak butuh dikasihani; ia butuh dilihat sebagai manusia. Sama halnya dalam hidup kita, banyak orang di sekitar yang hanya membutuhkan pengertian, bukan nasihat. Kadang-kadang, perubahan terbesar bukan datang dari tindakan besar, tapi dari keputusan sederhana untuk berhenti menilai dan mulai mendengarkan.

Empati tidak menyelesaikan semua masalah, tapi ia membuka pintu yang selama ini tertutup — pintu untuk memahami manusia lain sebagaimana adanya. Dan mungkin, itu sudah cukup untuk membuat dunia sedikit lebih adil.

Penutup: Memanusiakan Manusia

Pangku bukan sekadar film sosial; ia adalah pengingat tentang apa artinya menjadi manusia. Di tengah dunia yang gemar berkomentar tapi miskin pemahaman, empati menjadi bentuk perlawanan paling tenang. Ia tidak bersuara keras, tapi mengubah cara kita memandang hidup.

Jika setiap dari kita belajar melihat dunia dengan empati — bukan prasangka — mungkin kita tak hanya akan memahami Sartika, tapi juga diri kita sendiri: bahwa di balik setiap pilihan, selalu ada cerita yang menunggu untuk dimengerti.

Popular Articles